Nyonya; sebuah cerpen
Nyonya menyuarakan nasibnya yang sudah khatam aku hafal. Wajahnya yang sendu, namun tetap berusaha meyakinkan bahwa ia baik-baik saja. Seakan ia berkata hanya omong kosong saja. Tetapi mata yang tak menitikkan air mata, tak cukup untuk mengelabui. Suara lantang tanpa getaran, tak lekas menipu. Wajahnya nyata memancarkan luka yang tertahan, tapi ia tetap naif dan itu adalah siksa yang ia cari sendiri.
"Harus dikatakan apa lagi? Bukankah kita sudah sama-sama tahu bahwa rumah yang menaungi kita hanya bisa menyelamatkan kita dari panasnya terik matahari dan dinginnya angin malam? Ia tak bisa menyelamatkan hati kita dari pedihnya siksa yang mendera batin, atau dari racun yang perlahan-lahan masuk ke tenggorokan. Lalu untuk apalagi menyesali nasib?"
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak mengeluarkan apa yang sejak tadi aku tahan. Melihat wajahnya, aku menjadi lemah.
"Setidaknya aku tetap bertahan. Aku mengadukan nasibku sekadar untuk mengurangi sesak yang memenuhi dada. Aku sadar jika setelah ini, sesak akan kembali bertambah meski seberapa kuat aku mencoba mengeluarkannya. Hidup tidak hanya sekadar berbahagia. Melarikan diri, berarti aku telah gagal menghadapi badai."
Lagi, ia bersikeras dengan argumennya yang menyebalkan itu.
"Tetapi bukankan Tuhan tidak akan membebani hambanya melebihi kemampuannya? Lalu mengapa Ia memberimu beban yang begitu berat? Seharusnya sah-sah saja jika engkau menyerah."
Akhirnya, aku sudah tidak tahan lagi. Suara yang kutahan kukeluarkan dengan lantang.
"Tuhan tahu aku kuat. Meski tak jarang aku merintih ketika aku sudah tak tahan. Engkau juga begitu, Tuhan tahu engkau kuat. Walau engkau menampik hal itu. Tidak semua rumah menyuguhkan bahagia. Untuk sebagian manusia yang terpilih, mereka mendapat rumah yang membuatnya berdarah."
Apa katanya? Ia malah semakin membuat aku muak. Aku hanya ingin ia kali ini mengatakan menyerah, bukan memperdayaku untuk sama sepertinya. Aku ingin ia merasa bahagia dan lekas lega. Begitu pun Tuan sang pembuat luka, kupikir ia akan sama bahagianya. Tak peduli dengan aib atau reputasi sialan itu. Semua orang berhak bernapas lega; bukan hanya satu orang yang harus dipedulikan, ini tidak adil. Bukankan jalan ke surga tidak hanya satu jalan saja? Jika satu cara terlalu sukar, masih banyak cara lain yang bisa ditempuh. Kita hanya manusia yang memiliki batas, bukan para Nabi yang sabarnya tiada habis.
Nyonya mengusap kepalaku dengan lembut. Ia menyihirku lewat tangannya yang sakti itu. Matanya seperti memancarkan mantra-mantra yang membuat hati kembali teduh. Sial, ke mana perginya kebencian yang telah menggunung tadi? Jangan menyihirku! Aku tidak ingin sama sepertimu.(MAI)